Pages

 

Kamis, 01 Januari 2015

DIAGNOSIS KESULITAN BELAJAR

0 komentar


2.1.          Konsep Dasar Diagnosis Kesulitan Belajar
2.1.1.      Pengertian Diagnosis
Menurut Thorndike dan Hagen dalam Abin (2012:307) menjelaskan bahwa diagnosis dapat diartikan sebagai berikut:
1)      Upaya atau peroses menemukan kelemahan atau penyakit (weakneass, disease) apa yang dialami seseorang melalui pengujian dan studi yang seksam mengenai gejala-gejalanya (symptom).
2)      Studi yang saksama terhadap fakta  tentang suatu hal untuk menemuka karakteristik atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial.
3)      Keputusan yang dicapai setelaha dilakukan suatu studi yang saksama atas gejala-gejala atau fakta tentang suatu hal.
Dari ketiga pengertian diatas, dapat kita maklumi bahwa di dalm konsep diagnosis, secara implisit telah tersimpul pula konsep prognosisnya. Dengan demikian didalam pekerjaan diagnostik bukan hanya sekedar mengidentifikasi jenis dan karakteristiknya, serta latar belakang dari suatu kelemahan atau penyakit tertentu, melainkan juga mengimplikasikan suatu upaya untuk meramalkan (predictiing) kemungkinan dan menyarankan tindakan pemecahan.
2.1.2.      Pengertian Kesulitan Belajar
Menurut Abin (2012:307) kesulitan belajar adalah dimana seorang siswa menunjukkan kegagalan-kegagalan (failure) tertentu dalam mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Kegagalan belajar menurut Burton didefinisikan sebagi berikut:
1)   Siswa dikatakan gagal apabila dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan (level of mastery) minimal dalam pelajaran tertetu, seperti yang telah ditetapkan oleh oarang dewasa atau guru (critreon refrenced). Atau siswa yang bersangkutan tidak bisa memenuhi KKM atau passing grade, kasus semacam ini dinamakn lower group
2)   Siswa dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi yang semestinya (berdasarkan ukuran tingkat kemampuan: intelegensi, bakat). Ia diramalkan akan dapat mengerjakannya atau mencapai suatu prestasi, namun ternyata tidak sesuai dengan kemampuannya kasus siswa seperti ini dogolongkan kedalm under archievers.
3)   Siswa dikatakan gagal kalau yang bersangkutan tidak dapat mewujudkan tuga-tugas perkembangan, termasuk penyesuaian sosial sesuai dengan pola organismiknya (his organismic pattern) pada fase perkembangan tertentu. Kasus seperti ini digolongkan ke dalam slow learnes.
4)   Siswa dikatakan gagal kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan (level of mastery) yang diperlukan sebagai prasyarat (prerequisite) bagi kelanjutan (continuity) pada tingkat pelajaran berikutnya. Kasus seperti ini dapat digolongkan ke dalam slow learnes atau belum matang (immature) sehingga mungkin harus menjadi pengulang (repeaters) pelajaran.
Dari keempat definisi diatas, dapat kita simpulkan bahwa seorang siswa diduga mengalami kesulitan belajar kalau siswa tersebut tidak berhasi mencapai taraf kualifikasi hasil belajar tertentu.
Ada beberapa jenis kesulitan belajar, yang dapat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu sebagai berikut:
Dilihat dari jenis kesulitan belajar: ada yang berat ada yang sedang. Dilihat dari bidang studi yang dipelajari: ada yang sebagian bidang studi yang dipelajari, dan ada yang keseluruhan bidang studi. Dilihat dari sifat kesulitannya: ada yang sifatnya permanen / menetap, dan ada yang sifatnya hanya sementara. Dilihat dari segi factor penyebabnya: ada yang Karena factor intelligensi, dan ada yang karena factor bukan intelligensi.Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.
Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis. Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities.
1)   Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
2)   Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai dengan baik.
3)   Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau rendah.
4)   Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5)   Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya. 
2.1.3.      Diagnostik Kesulitan Belajar
Dengan mengaitkan pengertian diagnostik dan pengertian kesulitan belajar, kita dapat mendefinisikan diagnostik kesulitan belajar sebagai suatu peroses upaya memahami jenis dan karakteristik serta latar belakang kesulitan-kesulitan belajar dengan menghimpun dan mempergunakan berbagai data / informasi selengkap dan seobjektif mungkin sehingga memungkinkan untuk mengambil kesimpulaan dan keputusan serta mencari alternative kemungkinan pemecahannya.
2.2.         Faktor-faktor kesulitan belajar
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan bertriak-teriak didalam kelas dan sering meninggalkan sekolah. Ada beberapa faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar. Yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
2.2.1.      Faktor Intern Siswa
Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurangan maupun psiko-fisik siswa, yaitu:
1)   Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual / intelegensi siswa.
2)   Yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap.
3)   Yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara laian seperri terganggunya alat-alat indera penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga)
Selain faktor-faktor diatas ada beberapa faktor lain sebagai berikut:
a.    Fisiologi
Faktor fisiologi adalah factor fisik dari anak itu sendiri. seorang anak yang sedang sakit, tentunya akan mengalami kelemahan secara fisik, sehingga proses menerima pelajaran, memahami pelajaran menjadi tidak sempurna. Selain sakit factor fisiologis yang perlu kita perhatikan karena dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah cacat tubuh, yang dapat kita bagi lagi menjadi cacat tubuh yang ringan seperti kurang pendengaran, kurang penglihatan, serta gangguan gerak, serta cacat tubuh yang tetap (serius) seperti buta, tuli, bisu, dan lain sebagainya.
b.    Psikologis
Faktor psikologis adalah berbagai hal yang berkenaan dengan berbagai perilaku yang ada dibutuhkan dalam belajar. Sebagaimana kita ketahui bahwa belajar tentunya memerlukan sebuah kesiapan, ketenangan, rasa aman. Selain itu yang juga termasuk dalam factor psikoogis ini adalah intelligensi yang dimiliki oleh anak. Anak yang memiliki IQ cerdas (110 – 140), atu genius (lebih dari 140) memiliki potensi untuk memahami pelajaran dengan cepat. Sedangkan anak-anak yang tergolong sedang (90 – 110) tentunya tidak terlalu mengalami masalah walaupun juga pencapaiannya tidak terlalu tinggi. Sedangkan anak yang memiliki IQ dibawah 90 ataubahkan dibawah 60 tentunya memiliki potensi mengalami kesulitan dalam masalah belajar. Untuk itu, maka orang tua, serta guru perlu mengetahui tingkat IQ yang dimiliki anak atau anak didiknya. Selain IQ factor psikologis yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah bakat, minat, motivasi, kondisi kesehatan mental anak, dan juga tipe anak dalam belajar.
2.2.2.      Faktor Eksternal Siswa
Faktor eksternal siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktifitas belajar siswa. Faktor ini dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu sebagai berikut:
1)   Lingkungan keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubungan antara ayah dan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2)   Lingkungan perkampungan / masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh, pengaruh teman sepermainan yang nakal.
3)   Lingkungan sekolah, contohnya: kondidi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkaualitas rendah.
Adapun faktor-faktor ekternal yang lainnya yang ditinjau dari segi sosial dan non-sosial adalah sebagai berikut:
b.    Sosial.
Yaitu faktor-faktor seperti cara mendidik anak oleh orang tua mereka di rumah. Anak-anak yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup tentunya akan berbeda dengan anak-anak yang cukup mendapatkan perhatian, atau anak yang terlalu diberikan perhatian. Selain itu juga bagimana hubungan orang tua dengan anak, apakah harmonis, atau jarang bertemu, atau bahkan terpisah. Hal ini tentunya juga memberikan pengaruh pada kebiasaan belajar anak.
c.    Non-social
Faktor-faktor non-sosial yang dapat menjadi penyebab munculnya masalah kesulitan belajar adalah factor guru di sekolah, kurikulum dan sebagainya.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli yang menaruh perhatian terhadap masalah kesulitan belajar, ditemukan sejumlah faktor penyebabnya, diantaranya:
1)   Keturunan
Di Swedia, Hallgren melakukan penelitian dengan objek keluarga dan menemukan rata-rata anggota tersebut mengalami kesulitan dalam membaca, menulis dan mengija, setelah diteliti secara lebih mendalam, ternyata salah satu faktor penyebabnya adalah faktor keturunan.
2)   Otak
Ada pendapat yang menyatakan bahwa anak yang lamban belajar mengalami gangguan pada syaraf otaknya. Pendapat ini telah menjadi perdebatan yang cukup sengit. Beberapa peneliti menganggap bahwa terdapat kesamaan ciri pada perilaku anak yang mengalami kelambanan atau kesulitan belajar dengan anak yan ab-normal. Hanya saja anak yang lamban atau kesulitan belajar memiliki adanya sedikit tanda cedera pada otak, oleh karena itu para ahli tidak terlalu menganggap cedera otak sebagai penyebabnya, kecuali ahli syaraf membuktikan ini.
3)   Pemikiran
Siswa yang mengalami kesulitan belajar akan menmgalami kesulitan dalam menerima penjelasan tentang pelajaran. Salah satu penyebabnya adalah mereka tidak dapat mengorganisasikan cara berpikir secara baik dan sistematis. Para ahli berpendapat bahwa mereka perlu dilatih berulang-ulang, dengan tujuan meningkatkan daya belajarnya.
4)   Gizi
Berdasarkan penelitian para ahli yang dilakukan terhadap anak-anak dan binatang, ditemukan bahwa ada kaitan yang erat antara kesulitan belajar dengan kekurangan gizi. Artinya, kekurangan gizi menjadi salah satu penyebab terjadinya kelambanan atau kesulitan belajar.
5)   Lingkungan
Faktor-faktor lingkungan adalah hal-hal yang tidak menguntungkan yang dapat nengganggu perkembngan mental anak, baik yang terjadi di dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan masyarakat. Meskipun faktor ini dapat pengaruhi kesulitan belajar, tetapi bukan satu-satunya faktor penyebab terjadinya kesulitan belajar. Namun, yang pasti faktor tersebut dapat mengganggu ingatan dan daya konsentrasi anak.
6)   Biokimia
Pengaruh penggunaan obat atau bahan kimia lain terhadap kesulitan belajar masih menjadi kontroversi. Penelitian yang dilakukan oleh Adelman dan Comfers (dalam Kirk & Ghallager, 1986) menemukan bahwa obat stimulan dalam jangka pendek dapat mengurangi hiperaktivitas. Namun beberapa tahun kemudian penelitian Levy (dalam Kirk & Ghallager, 1986) membuktikan hal yang sebaliknya. Penemuan kontroversial oleh Feingold menyebutkan bahwa alergi, perasa dan pewarna buatan hiperkinesis pada anak yang kemudian akan menyebabkan kesulitan belajar. Ia lalu merekomendasikan diet salisilat dan bahan makanan buatan kepada anak-anak yang mengalami kesulitan belajar.
Selain faktor-faktor yang bersifat umum diatas, adapula faktor yang yang juga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Diantara faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ini ialah sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). Sindrom (syndrome) yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber,1998) yang menimbulkan kesulitan belajar itu.
a.    Disleksia (dyslexia), yakni ketidakmampuan membaca.
b.    Disgrafia (dysgraphia), yakni ketidakmampuan belajar menulis.
c.    Diskalkulia (dyscalculia), yakni ketidakmampuan belajar matematika.
Akan tetapi, siswa yang mengalami sindrom-sindrom diatas secara umum sebenarnya memiliki potensi IQ yang normal bahkan diantaranya ada yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal brain dysfunction, yaitu gangguan ringan pada otak (Lask, 1985: Rebert, 1988).


2.3.         Prosedur Diagnosis Kesulitan Belaja
Teknik diagnostik kesulitan belajar menurut Ross dan Stanley dalam Abin (2012:307) menyatakan bahwa terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:
1)   Siapa-siapa yang mengalami gangguan?
2)   Dimanakah kelemahan-kelemahan itu dapat dilokalisasikan?
3)   Mengapa kelemahan-kelemahan itu terjadi?
4)   Penyembuhan-penyembuhan apakah yang disarankan?
5)   Bagaimana kelemahan itu dapat dicegah?
Sedangkan menurut Burton menjelaskan teknik pelaksanaan diagnostik kesulitan belajar sperti berikut:
1)   General Diagnosis
Pada tahap ini lazim digunakan tes baku, seperti yang dipergunakan untuk evaluasi dan pengukuran psikologis dan hasil belajar. Sasaranya, untuk menemukan siapakah siswa yang diduga mengalami kelemahan tersebut.
2)   Analystic Diagnostic
Pada tahap ini yang lazim digunakan adalah tes diagnostic. Sasarannya untuk mengetahui dimana letak kelemahan tersebut.
3)   Psychological Diagnostic
Pada tahap ini teknik pendekatan dan instrument yang digunakan antara lain:
b)      Observasi
c)      Analisis karya tulis
d)     Analisis proses dan respon lisan
e)       Analisis berbagai catatan objektif
f)       Wawancara
g)      Pendekatan laboratorium dan klinis
h)      Srudi kasus
Sasaran kegiatan diagnostic pada langkah ini pada dasarnya ditujukan untuk memahami karakteristik dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan.
Dari kedua model pola pendekatan diatas kita dapat menjabarkannya kedalam suatau pola pendekatan operasional sebagai berikut:
Input 1: informasi / data prestasi dan proses belajar
Ø  Identifikasi kasus: menandai siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar
Input 2:  informasi / data tes / analisis diagnostic
Ø  Identifikasi masalah: menandai dan melokalisasi dimana letaknya kesulitan
Input 3: informasi / data diagnostic psikologis
Ø  Identifikasi faktor penyebab kesulitan: menandai jenis dan karakteristik kesulitan dengan faktor penyebabnya.
Ø  Prognosis: mengambil kesimpulan dan keputusan serta meramalkan kemungkinan penyembuhan.
Ø  Rekomendasi/Refferal: membuat saran alternative pemecahannya.

2.4.         Alternatif Pemecahan Kesulitan Belajar
Banyak alternative yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswanya. Akan tetapi, sebelum pilihan tertentu diambil, guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan beberapa langkah penting yang meliputi :
a.    Menganalisis hasil diagnosis
Menganalisis hasil diagnosis yakni menelaah bagian-bagian masalah dan hubungan antarbagian tersebutuntuk memperoleh pengertian yang benar mengenai kesulitan belajar yang dihadapi siswa. Data dan informasi yang diperoleh guru melalui diagnostik kesulitan belajar tadi perlu dianalisis sedemikian rupa, sehingga jenis kesulitan khusus yang dialami siswa yang berprestasi rendah itu dapat diketahui secara pasti.
b.    Menentukan Kecakapan Bidang Bermasalah
Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan. Berdasarkan hasil analisis tadi, guru diharapkan dapat menentukan bidang kecakapan tertentu yang dianggap bermasalah dan memerlukan perbaikan. Bidang-bidang kecakapan bermasalah ini dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu :
1)   Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru sendiri
2)   Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru dengan bantuan orang tua.
3)   Bidang kecakapan bermasalah yang tidak dapat ditangani baik oleh guru maupun orang tua.
Bidang kecakapan yang tidak dapat ditangani atau terlalu sulit untuk ditangani baik oleh guru maupun orang tua dapat bersumber dari kasus-kasus tunagrahita (lemah mental) dan kecanduan narkotika. Mereka yang termasuk dalam lingkup dua macam kasus yang bermasalah berat dipandang tidak berketerampilan. Oleh karenanya, para siswa yang mengalami kedua masalah kesulitan belajar yang berat tersebut tidak hanya memerlukan pendidikan khusus, tetapi juga memerlukan perawatan khusus.
c.    Menyusun program perbaikan
Menyusun program perbaikan, khususnya program remedial teaching (pengajaran perbaikan). Dalam hal menyusun program pengajaran perbaikan (remedial teaching), sebelumnya guru perlu menetapkan hal-hal sebagai berikut:
1)   Tujuan pengajaran remedial
2)   Materi pengajaran remedial
3)   Metode pengajaran remedial
4)   Alokasi waktu pengajaran remedial
5)   Evaluasi kemajuan siswa setelah mengikuti program pengajaran remedial.
Setelah langkah-langkah di atas selesai, barulah melaksanakan langkah selanjutnya, yakni melaksanakan program perbaikan.


DAFTAR PUSTAKA
Makmun, Abin. S. 2012. Psikologi Kependidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syah, Muhibbin. 2000. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

 

0 komentar:

Posting Komentar

Tulis Komentar dengan Bahasa yang Sopan